Beberapa waktu ini
umat Kristen di buat kaget dengan pernyataan dua sosok pemimpin Kristen yang
menyatakan ia sudah kehilangan imannya dan bukan Kristen lagi, yaitu Joshua
Harris mantan pendeta dan penulis buku I Kiss Dating Goodbye dan Marty Sampson,
penulis lagu rohani dan pemimpin pujian di Hillsong Church.
Di Indonesia sendiri,
pendeta atau hamba Tuhan yang kehilangan iman bahkan pindah ke agama lain
bukanlah hal yang baru. Bahkan ada beberapa orang yang sebelumnya pendeta
beralih profesi penjadi ustad atau ustazah.
Walau demikian, hal
ini menyebabkan munculnya pertanyaan, “Apa yang menyebabkan seorang Kristen
yang berkomitmen tinggi seperti pendeta dan para pemimpin rohani bisa
kehilangan imannya? Apakah meninggalkan iman seperti berjalan ke dalam
kegelapan dan ketidakpastian atau ke dalam kebebasan dan beban yang terlepas?”
Dr. John Marriot,mendedikasikan penelitian doktoralnya untuk menyelidiki pertanyaan seperti itu, dan menuangkannya dalam bukunya yang berjudul “A Recipe for Disaster: Four ways churches and parents prepare individuals to lose their faith and how they can instill a faith that endures (Wipf & Stock).” Saat ini John adalah menjabat di departemen World Religion di Institute of Religious Studies di Missional University dan profesor di Biola University.
Bukan Hanya Karena Satu Sebab
“Setiap kisah
dekonversi (perubahan iman-red) itu seperti resep – itu tidak pernah sederhana,
itu tidak pernah hanya karena satu alasan,” demkian ungkap Dr Marriot.
“Biasanya itu adalah kombinasi dari berbagai bahan, persiapan, dan lingkungan.”
Menurut penelitian
Dr Marriot, orang yang kehilangan iman cenderung memiliki beberapa ciri-ciri
kepribadian, keyakinan dan nilai-nilai yang mendasarinya. Hal ini termasuk
memiliki kecerdasan di atas rata-rata, toleransi yang rendah dalam penundukan
diri pada pemimpin dan menghargai keyakinan diri yang kuat, memegang kendali
dan terbuka untuk pengalaman baru.
“Ketika semua itu
dikombinasikan dan digabungkan maka seseorang secara statistik akan lebih
mungkin mengalami krisis iman dan kemudian pada akhirnya meninggalkan imannya,”
demikian ungkap Dr Marriot.
Menurut Marriot,
bagaimana orang-orang sampai meninggalkan imannya dipengaruhi oleh bagaimana
mereka diasuh dalam keluarganya, bagaimana mereka dimuridkan oleh gereja, apa
yang diajarkan kepada mereka tentang Kekristenan, dan bagaimana mereka
diajarkan untuk menjalani kehidupan mereka sebagai seorang Kristen.
“Hal itu memberi
pengaruh besar bagaimana mereka kehilangan iman,” demikian tegasnya.
Ia menuliskan dalam
bukunya bahwa gereja dan orangtua bisa menjadi penyebab krisis iman ini, ia
membaginya menjadi empat hal penyebab : Persiapan berlebihan; kurang persiapan;
persiapan yang buruk; dan persiapan yang menyakitkan.
Persiapan Berlebihan
“Persiapan yang
berlebihan terjadi ketika orangtua dan gereja secara keliru menyamakan bahwa
pandangan unik mereka tentang Kekristenan sama dengan hakekat Kekristenan. Mereka
(gereja dan orangtua-red) kemudian meminta orang-orang yang mereka muridkan
untuk menerima dan menjaga iman kepada keseluruhan paket yang diajarkan untuk
menjaga keotentikan identitas Kristen,” demikian jelas Dr.Marriot.
Hal itu menimbulkan
tirani kepercayaan dimana orang harus mengafimasi dan mempertahankan sejumlah
kepercayaan teologi untuk menjaga identitas mereka sebagai orang Kristen
alkitabiah yang murni.
Kurang persiapan
Orang Kristen yang
kurang persiapan mereka tidak mendapatkan bantuan yang memadai untuk
mengarahkan kehidupannya dalam masyarakat yang didominasi sekularisme saat ini.
Hal inilah yang menimbulkan apa yang disebut Dr Marriot sebagai “Spiritual
Culture Shock (goncangan budaya rohani-red).”
“Saya pikir kita tidak
membuat hubungan antara dunia Alkitab yang kita bicarakan di hari Minggu dan
dunia yang kita hidupi di sepanjang minggu, dan kita perlu melakukan hal ini
lebih baik lagi,” demikian ungkap Marriot.
Persiapan Yang Buruk
Untuk orang Kristen
yang mengalami persiapan yang buruk atau bahkan mungkin tidak dipersiapkan
mengalami kekosongan atau ketidaktahuan tentang konsep teologi yang krusial.
Hal ini menghasilkan iman yang “setengah jadi” (seperti adonan kue yang
setengah jadi karena tidak adanya beberapa bahan yang utama).
Menurut Marriot,
kebanyakan orang Kristen sangat kurang dipersiapkan untuk menyikapi bagaimana kompleksnya Alkitab atau faktor manusia dan kurang diedukasi tentang konsep
Ketuhanan.
Persiapan Yang
Menyakitkan
Persiapan yang
menyakitkan menurut Dr Marriot adalah mereka yang mengalami disakiti oleh gereja,
pemimpin gereja atau sesama umat Tuhan. Menurut penelitiannya, saat dia bicara
dengan mereka “apa yang mereka anggap sebagai tindakan kasar atau munafik dari
pemimpin rohani memberi dampak signifikan dalam krisis iman mereka.”
Dalam hal ini, kita
bisa lihat bahwa kepahitan bisa menjadi salah satu pemicu krisis iman dan
bahkan membawa mereka meninggalkan Kekristenan.
Namun Marriot menekankan kembali bahwa dekonversi atau kehilangan iman itu tidak terjadi tiba-tiba, namun seperti sebuah resep dalam membuat kue, dimana banyak bahan atau sebab yang sudah dicampur aduk, hingga pada akhirnya membawa orang itu pada suatu keputusan.
Goncangan Kehidupan
Dr Marriot menyatakan
bahwa ada “pola umum” dalam kisah-kisah orang yang mengalami dekonversi atau
krisis iman, yaitu terjadinya “pergeseran atau perubahan emosional/pengalaman”
dalam kehidupan orang itu yang sering kali menuntunnya kepada penilaian ulang
intelektual terhadap keyakinan mereka.
Sebagai contoh adalah
pernyataan Derek Webb seorang penulis lagu
dan penyanyi Kristen terkenal di Amerika Serikat yang mengungkapkan bahwa
dia kehilangan imannya melalui podcast tidak lama setelah pernikahannya hancur.
“Ketika kamu melalui
masa-masa yang berat.. ada kesempatan untuk memeriksa hal-hal lain di masa itu.
Pada saat itu saya tidak mendapatkan penghiburan dalam kehidupan rohani saya
dan saya ditinggalkan oleh komunitas rohani saya,” demikian ungkap Derek Webb.
Pengalaman berbeda
dialami oleh Bart Campolo, putra seorang penginjil televisi terkenal Tony
Campolo, ia meninggalkan imannya setelah mengalami kecelakaan serius bersepeda.
Saat itu, begitu sadar di rumah sakit, ia merasa bahwa setelah kehidupan tidak
ada apa-apa lagi.
Dia berkata kepada
istrinya, “Tidak ada lagi yang tertinggal. Aku tidak percaya Tuhan, aku tidak
percaya hal supranatural. Aku tidak percaya pada roh. Aku pikir ini yang kita
miliki saat ini.”
Namun sebelumnya,
sepanjang kehidupan Kristennya, Bart sudah memiliki keraguan serius tentang
imannya, seperti tentang kuasa doa dan keberadaan penderitaan. Keraguannya
memainkan peran penting dalam ia meninggalkan imannya.
Kekristenan Palsu Yang
Mengikat
Namun yang menarik
dari hasil penelitian Dr. Marriot adalah mereka yang ia wawancara merasakan “beban
terangkat dan mereka sekarang bebas.” Mereka bicara tentang dimerdekakan,
sebuah kata yang biasanya kita kaitkan dengan kisah orang-orang yang percaya
Yesus. Apa yang salah disini?
“Jika mereka
dibebaskan dan dimerdekakan, mereka dimerdekakan dan dibebaskan dari apa? Karena
ini seperti bukan cara hidup Yesus yaitu hidup berkelimpahan, yang adalah jalan
damai.. Sepertinya bukan ini yang mengikat mereka.
Sepertinya ada hal
lain yang mengikat mereka, dan hal itu selalu sesuatu yang menyerupai sebuah
versi Kekristenan yang sangat fundamental dan legalistik, sesuatu yang mereka
terjemahkan atas apa yang mereka anggap tidak ada dalam Kekristenan yang
sesungguhnya,” demikian paparan Dr. Marriot.
Bagaimana meresponi
mereka yang meninggalkan imannya?
Dr. Marriot
menyarankan untuk tidak mempertahankan diri atau berusaha memperbaiki ataupun
memberikan jawaban apologetic tentang ketidakpercayaan mereka.
“Yang akan saya coba
dan lakukan jika seseorang dalam situasi itu adalah saya akan mencoba dan
mendengarkan dengan baik, karena saya ingin mendengarkan apa yang menjadi
keraguan mereka dan aku ingin mendengar apa yang mereka tolak, dan aku ingin
memastikan bahwa hal itu adalah penting, dan bukan hanya tipuan Kristen atau
pemutarbalikan Kekristenan yang mereka percayai.
Aku mungkin berasumsi
bahwa apa yang terjadi banyak berhubungan dengan masalah pada Alkitab, dan aku
mungkin akan mencoba dan menyelidiki apa yang menjadi keberatan mereka; dan
dengan lemah lembut memperlihatkan bahwa beberapa masalah dengan Alkitab adalah
berdasarkan asumsi dan pengharapan yang Alkitab tidak pernah berniat untuk
menjawab.”
Kebanyakan mereka yang
menyatakan kehilangan iman dan meninggalkan Kekristenan akan menerima tudingan
dan juga kecaman. Secara terbuka mengungkapkan hal ini akan membuat mereka
kehilangan pekerjaan mereka jika mereka adalah hamba Tuhan, mereka kehilangan
komunitas mereka, dan tidak sedikit yang kehilangan keluarga mereka.
Jika kita kembali kepada sikap Yesus, tentu hal ini bukanlah respon yang Yesus ingin kita lakukan. Karena sikap seperti itu hanya akan membuat mereka semakin jauh dari kasih Tuhan. Seperti yang Dr. Marriot ungkapkan, jadilah pendengar yang baik buat mereka. Tetap kasihi mereka. Jadilah komunitas pendukung saat dunia mereka yang selama ini mereka percaya goncang.
Baca juga:
Menyusul Harris, Penulis Lagu Hillsong Ungkapkan Tak Lagi Percaya Pada Kristus
Pendeta Sekalipun Bisa Kehilangan Iman, Kok Bisa? Mungkin Ini Penyebabnya…